• Jakarta - Indonesia
KEMENAG RI
Fenomena Post-Truth, hoaks, dan perlawanan terhadap ilmu pengetahuan yang baku

Fenomena Post-Truth, hoaks, dan perlawanan terhadap ilmu pengetahuan yang baku

Kita sedang memasuki era revolusi industri 4.0 Era disrupsi. Era keberlimpahan informasi. Sisi lain, kita juga masih berada pada masa pandemi Covid-19 yang mencekam. Fenomena Post-Truth, hoaks, dan perlawanan terhadap ilmu pengetahuan yang baku juga menyeruak.

Pada saat yang sama, peserta didik kita adalah generasi Z yang friendly dengan gadget. Pada umumnya, mereka terkoneksi dengan internet (IoT). Mereka belajar dan tumbuh dengan caranya sendiri (search of identity).

Tantangan kita semakin kompleks dan rumit. Kita harus bekerja extra ordinary. Guru dan tenaga kependidikan, Kepala Madrasah, pengawas, praktisi pendidikan harus tampil gigih untuk menyapa dan melayani peserta didik. Tugas utama guru adalah mendidik dan membentuk karakter (akhlak) baik siswa. Guru harus membuat siswa ketagihan belajar dan sadar literasi. Literasi dalam artian membaca, literasi numerasi, literasi sains, literasi sosial-budaya, literasi digital, dan literasi agama.

Oleh karenanya, guru dan kita semua harus meningkatkan kapasitas diri kita masing-masing. Kita harus familiar dengan budaya digital, Big Data, Computational Thinking, Blended Learning, Google Classroom, Instagram, Facebook , tik tok, dll. Bukankah average is over, yang biasa-biasa saja sudah berakhir (game over )?.

Literasi digital adalah sebuah keniscayaan. Literasi digital dalam arti yang luas. Guru harus melengkapi seperangkat pengetahuan tentang digital skill, digital ethic, dan digital safety. Terkait indeks civility ( indeks keadaban) kita yang masih rendah dalam bermedia sosial, guru-guru kita sejatinya mengajarkan digital ethic. Yakni sopan santun dan tetap berakhlakul karimah di dunia maya. Bahwa perilaku kita di dunia maya sama dengan kenyataan di dunia fakta. Bahkan dunia digit bisa lebih “menyakitkan” karena spektrumnya yang luas dan jejak digital sulit dihilangkan. Peserta didik kita harus dibekali ilmu tentang digital ethic. Sebab, untuk karier akademik yang lebih panjang, jejak digital seseorang juga akan ditelusuri. Setiap orang yang hendak melanjutkan studi ke luar negeri, pasti pihak pemberi beasiswa akan menelusuri jejak digital yang bersangkutan, terkait konten-konten yang sering di unduh, siapa networkingnya, dan komentar-komentarnya di medsos, dst.

BACA JUGA :   Membangun Tradisi Akademik

Siswa membutuhkan guru kreatif yang thinking out of the box. Berpikir berbeda dan di luar kotak. Guru hebat yang memiliki passion dan empathy. Guru inspiratif yang mengajar dengan cinta. Sebab, di mana pun, kita hanya bisa belajar dari orang yang kita cintai (J.W. von Goethe).

Saya menyambut baik kehadiran buku digital ini.

Semoga kehadiran buku yang penting ini bermanfaat adanya dan dapat memantik gairah baru dalam gerakan literasi digital di madrasah.

Dan semoga kita bisa mewujudkan “Guru Hebat, Siswa Cerdas, Madrasah Bermartabat”. Amin.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: