
Berdamai dengan Kematian
Oleh : Muhammad Zain
(Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan Kemenag RI, Pencinta Jalaluddin Rumi)
Alhamduliilah, puji syukur kita terus panjatkan kehadhirat Tuhan Pencipta alam semesta dan penggenggam jiwa-jiwa hamba-Nya. Huwa al-Awwal wa al-akhir. Dialah yang pertama dan Dia pula yang terakhir. Huwa al-muhyi wa al-mumit. Dia yang Maha menghidupkan dan Dia pula yang Maha Mematikan. Huwa al-Hayyu al-Qayyum. Dia yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri dalam memenuhi kebutuhan seluruh makhluk-Nya.
Shalawat dan salam kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Agung Muhammad Shalla Allah ‘alaih wa sallama, kepada keluarga beliau, para sahabatnnya dan ulama pembawa syi’ar risalah Islamiyah hingga dewasa ini kita masih teguh dan istiqamah dengan Islam rahmatan li al-‘alamin.
Kematian adalah nikmat. Itulah judul buku karya Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab. Sebelumnya, Prof. Quraish sudah menulis buku: Perjalanan Menuju Keabadian ( Lentera Hati, 2001). Itulah sebabnya, Prof. Quraish menyebut pada kata pengantar buku Kematian adalah nikmat sebagai “buku baru tapi lama”. Baru karena ada banyak persoalan yang baru dikemukakan dalam buku ini dan belum pernah disinggung pada buku beliau yang lainnya. Lama, karena sebagian materinya juga sudah diungkap dalam buku Perjalanan Menuju Keabadian. Kedua buku ini ditulis seiring dengan bertambahnya umur beliau. Hidup dan mati, beda-beda tipis. Hanya saja selama ini, kematian dipersepsikan sebagai sesuatu yang menakutkan. Sehingga, kebanyakan orang berupaya untuk menghindarinya. Bahkan dalam al-Qur’an digambarkan bahwa meskipun kalian–wahai orang kafir–berlindung di balik benteng yang sangat kokoh ( fi buruj-in musyayyadat-in), kematian pasti akan menjemputmu. Padahal, setiap yang memiliki nyawa pasti akan mengalami kematian. Kull nafs-in za’iqatul maut, demikian pandangan al-Qur’an ( Q.S.al-Ankabut ayat 57). Kalau demikian, mestinya kita berdamai dengan kematian. Mestinya kita menjemput kematian dengan suka hati. Memang bagi orang yang sangat cinta “duniawi”, pastilah merasakan ketakutan akan kematian. Sebab, kematian akan mencabut segala kenikmatan dan kelezatan kehidupan duniawi. Kematian dapat dipahami sebagai peristiwa berhentinya denyut jantung atau tidak berfungsinya otak.
Kematian dalam Islam bukanlah akhir dari segala kehidupan. Kematian justru merupakan awal dari kehidupan yang sebenarnya. Ada riwayat yang berbunyi: al-Nas kulluhum niyam-un. wa iza matu qad intabahu…semua manusia sekarang ini yang hidup di dunia yang fana dalam keadaan tertidur. Ketika mereka meninggal barulah terbangun (riwayat dikutip Mulla Shadra dalam kitabnya al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyyah al-Arba’ah). Oleh karenanya, Islam sangat menekankan untuk memperbanyak “bekal” dalam menghadapi kehidupan setelah kematian itu (life after death). Itu juga yang selalu diajarkan oleh Baginda Nabi shalla Allah ‘alaih wa sallama kepada kita agar senantiasa berdo’a untuk memanjangkan umur. Umur berdekatan makna dengan “makmur”, sejahtera. Do’a panjang umur maksudnya agar sisa usia itu merupakan kesempatan untuk berbuat kebajikan dan kemashlahatan untuk orang banyak. Bukan sebaliknya, sisa umur untuk mempersulit dan berbuat mudharat bagi orang lain. Nabi shalla Allah ‘alaih wa sallama bersabda: inna li al-mauti sakarat-un. Bahwa dalam kematian itu ada sakarat. Perihnya Sakarat al-maut ini banyak diperbincangkan para ulama. Nabi sendiri mengalami sakit sekitar 13 hari sebelum wafatnya. Nabi terkadang mencelupkan tangannya pada wadah yang berisi air di sampingnya kalau beliau lagi merasakan sakitnya. Lalu, pertanyaannya kemudian, apakah sakit sebelum kematian itu adalah sakarat al-maut? Sesungguhnya kematian adalah pintu masuk bagi kehidupan akhirat. Kehidupan akhirat adalah kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan di dunia hanyalah sementara. Kehidupan akhirat lebih baik dan lebih abadi. wa la al-akhirat-u khair-un wa abqa, kata al-Qur’an. Orang yang shaleh senantiasa merindukan kehidupan akhirat. Sebab, kesempurnaan balasan pahala dari Allah Swt hanya bisa didapatkan di akhirat kelak. Itulah sebabnya peristiwa kematian biasa disebut wafat. Wafat adalah sempurna. Kesempurnaan balasan pahala dan dosa hanya bisa didapatkan setelah seseorang mengalami kematian. Walhasil, berdamailah dengan kematian.
Syahdan, Jalaluddin Rumi dalam kitabnya Fihi Ma Fihi mengisahkan bahwa pada satu kesempatan seorang pertapa (sufi) mengalami kedinginan yang sangat dahsyat. Si Pertapa berjalan di sepanjang jalan di kota Konya, Turki yang sedang dilanda banir. Dalam keadaan dingin yang merambah ke tulang sumsum itu, sekelompok anak kecil menunjukkan baju wol yang berada di balik sungai. Sebab, waktu itu, kota yang ditempatinya sedang dilanda banjir. Ternyata baju wol yang ditunjuk anak kecil itu adalah bulu beruang yang tergerus banjir tadi. Ketika sang pertapa meraba baju wol itu, ia pun kena cakar beruang Anak-anak berteriak. Apa yang terjadi sang pertapa? Apakah Anda tidak berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri? Lalu sang pertapa menyahut dari bawah sungai, aku tidak dapat melepaskan diri. Dan bagaimana mungkin saya melepaskan diri karena “Dia” yang menginginkannya. Maksudnya, kematian bagi sang pertapa adalah peristiwa yang diidam-idamkan, dan bukan sesuatu yang menakutkan.
Adalah Ahmad ibn Hamid al Aswad datang kepada Ahmad ibn al- Mubarok. Aku bermimpi, engkau akan meninggal satu tahun lagi. Barangkali engkau akan bersiap- siap untuk keluar dari dunia. Ibn al- Mubarok berkata: setahun adalah waktu yang terlalu lama. Dalam hal kematian, aku sangat menyukai syair Abu Ali al Saggaf: Wahai yang tercekam rindu karena perpisahan panjang. Bersabarlah, siapa tahu engkau esok bertemu sang Kekasih. Jadi bagi sufi, kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan. Sehingga kita harus menghindarinya. Kematian justru pintu untuk bertemu dengan Sang Kekasih. Kematian adalah sesuatu yang sangat dirindukan.
Buku Kisah-Kisah Singkat Pengingat Kematian karya H Ismail, M.Pd adalah karya menarik. Sebab buku ini ditulis berdasarkan fakta yang dialami penulisnya. H. Ismail adalah seorang pendidik, qari’ dan da’i. Ayahnya H Jafar bin Sodding juga seorang ulama yang syahid ketika beliau menjalankan tugas dakwah hari raya Idul Fithri di Masjid at-Taqwa, tahun 1998.
Berangkatlah beliau ke sana dan membawa dua puteranya, dan satunya masih berumur lima tahun dan kakaknya masih berumur belasan tahun. Naas pun tak dapat dihindari. Di tengah perjalanan, sekitar desa Labuangkallo, ombak meninggi dan menenggelamkan kapal yang ditumpangi beliau. Tercatat 35 penumpang dan 14 di antaranya meninggal termasuk H. Jafar. Sebelum wafatnya, H Jafar sendiri berjuang untuk menyelamatkan kedua puteranya. Barangkali karena kelelahan, beliau menghembuskann nafas terakhirnya di tengah laut sambil berupaya menyelamatkan kedua puteranya. Puteranya yang masih belasan tahun, menolong adiknya, lalu ia berenang melintasi ganasnya ombaknya. Dan tak lama kemudian, pertolongan pun datang. Kedua putera H Jafar selamat. Meskipun akhirnya beliau wafat dan syahid. Patut dicatat bahwa sebagian penumpang selamat karena berpegangan pada serpihan kapal dan kayu yang hanyut. Peristiwa naas ini sangat membekas dalam benak pak H. Ismail.
Sekitar 20 tahun wafatnya sang ayah, pak Ismail mengalami lagi peristiwa dramatis, sakaratul maut, ibunda tercinta. Pak Ismail dengan tenang terus mentalqinkan sang ibu dan mengucapkan kalimat La Ilaha illa Allah hingga beliau menghembuskan nafas terakhirnya dalam keadaan tenang. Tuntunan dan ajaran agamalah yang menuntun pak Ismail dalam menghadapi musibah demi musibah dalam hidupnya.
Tak lama berselang ketika buku ini ditulis, pak Ismail sendiri dan keluarga mengalami pergumulan “melawan” ganasnya Covid 19. Semua obat, ramuan diminumnya. Wirid dan do’a-do’a al-mu’tabarah juga didawamkan. Bahkan di tengah kegetiran hidup dalam menghadapi wabah Corona, pada sisa-sisa tenaga, pak Ismail masih menyempatkan menulis pengalaman berharganya itu. Sejumlah artikel itulah yang diedit dan diperkaya dengan ayat, sunnah Nabi serta literatur keagamaan yang sambung menyambung menjadi sebuah buku.
Buku yang ada di tangan pembaca yang budiman dapat dikatakan terlahir dari “separuh nyawa” penulisnya. Semoga bermanfaat adanya dan kita mendapatkan berkah dari butiran-butiran hikmah dari deretan peristiwa demi peristiwa dalam buku yang mengguncang jiwa ini. Kata pengantar ini saya ingin menutupnya dengan mengutip pernyataan Nabi Syu’aib yang diabadikan dalam al-Qur’an surah Hud ayat 88:
…in uridu illa al-ishlah ma istatha’tu wa ma taufiqi illa bi Allah. ‘Alaih tawakkaltu wa ilaihi unibu. Aku hanyalah mengharapkan kebaikan (kemashlahatan) sesuai kesanggupanku. Tiadalah taufik yang menimpaku kecuali karena Allah. Kepada-Nyalah aku bertawakkal (bersandar) dan kepada-Nya pulalah aku kembali.
Wa Allah al-muwaffiq ila aqwam al-thariq
Wa Allah a’lam bi al-Shawab.